But Love is Blind and Lovers Cannot See

tergeoni
9 min readMay 25, 2024

--

Shin Ryujin as Raina Larasati
Hwang Hyunjin as Hestamma Atmadja
Bae Suzy as Diajeng Ayu Sekar Maheswari

“Rai, jadwal saya terakhir jam berapa, ya?”

Raina dengan sigap membuka ponsel untuk memastikan, “Jam 8, Bu. Ada jadwal dinner dengan koleganya Bapak, Bapak minta saya buat kosongkan jadwal Ibu malam ini.”

“Oh.. di OSCAR, ya?”

“Betul, Ibu.”

Sekar melirik Raina yang masih setia berdiri tegak di samping sofa, “Sini duduk, Rai. Kamu kayak bodyguard kalau berdiri disitu.”

Raina meringis kecil, “Hehe.. Iya, Ibu.”

Raina memutuskan mendekat, duduk di kursi plastik yang berada tepat di sebelah sofa.

“Saya tuh akhir-akhir ini kesepian, Rai. Punya suami sama anak sibuk semuanya! Bapaknya sibuk rapat kesana kemari, si Hestamma juga mbuh lah itu, dari kemarin tiap ditelepon adaaa aja alesannya. Udah nggak sayang maminya apa, ya?”

Raina tergelak pelan, menjadi personal assistant Diajeng Ayu Sekar Maheswari—Aktris dan model ternama Indonesia—berarti ia harus siap mengatur jadwal Sekar sehari-hari, menemani Sang Aktris kemanapun ia pergi, serta menjadi pendengar setia dikala waktu luang atau jeda suatu acara.

“Mungkin Mas Hestamma memang sedang sibuk, Ibu. Bulan lalu 'kan Ibu bilang kalau Mas Hestamma mau bangun start-up bareng anaknya Bu Lindaweni.”

“Iya juga… Tapi ini ketemu maminya sendiri loh, Rai. Masa saya harus telepon berkali-kali demi sekadar ngajak lunch atau dinner anak saya sendiri. Udah ngalah-ngalahin artis aja itu anak!” Sekar bersungut-sungut.

Raina merasa iba, selalu berada disekitar Sekar membuatnya paham kalau akhir-akhir ini intensitas pertemuan Sekar dengan anak semata wayangnya—Hestamma—memang bisa dikatakan sangat jarang. Untuk ukuran hubungan ibu dan anak, hal ini tentu tidak bisa dibilang wajar. Maksudnya… Sesibuk apapun Hestamma, bukankah aneh kalau ibunya sendiri sampai kesulitan untuk sekadar menemuinya.

“Ibu mau saya kosongkan jadwal untuk minggu depan? Siapa tahu Mas Hestamma bisa diajak lunch atau dinner?” Raina menawarkan.

Sekar terlihat berpikir sejenak, “Nanti deh, Rai. Saya coba tanya Tamma dulu, kapan dia ada waktu luang. Sekalian saya pengen ajak Bapak, kan enak kalau bisa kumpul bertiga.” “Nanti kalau udah dapet waktunya, saya kabarin kamu biar bisa kosongin jadwal saya,” lanjutnya.

“Siap, Ibu. Saya tunggu kabar baiknya,” Raina tersenyum manis.

Sekar terkekeh mendengar ucapan Raina, diusapnya pelan pundak wanita muda yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. “Kamu habis ini langsung pulang aja, ya, Rai. Nanti saya juga langsung pulang bareng Bapak habis selesai dinner.

Raina mengangguk dan mengacungkan jempol.

Ketika waktu menunjukkan pukul 19:20 WIB, sopir pribadi Sekar datang menjemput. Raina mengantarkan Sekar hingga ke lobi, mereka sedang berada di gedung salah satu saluran televisi nasional, acara terakhir Sekar tadi adalah syuting talk show dalam rangka promosi film terbaru Sekar yang akan tayang di layar lebar pada bulan depan.

“Saya duluan, ya, Rai. Kamu langsung pulang loh, istirahat!” Sekar berpamitan dan memeluk Raina sekilas.

“Siap, Ibu. Semoga acaranya lancar. Titip salam buat Bapak,” Jawab Raina.

Sekar mengangguk dan mengusap rambut Raina yang terjatuh di bahu, “Saya mau pacaran sama papinya Tamma, kamu kalau habis ini mau pacaran ya nggak apa-apa.”

Raina terkekeh canggung, “Hehehe, nggak deh, Ibu. Saya mau pulang aja, nggak punya pacar.”

“Punya juga nggak apa-apa loh, Rai. Cantik begini kalau nggak pacaran rugi!” Sekar masih berusaha menggoda Raina.

“Eh, Ibu sudah ditunggu Bapak, loh,” Raina tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.

Sekar tertawa dan memukul pelan pundak Raina, “Paling bisa ganti topik. Yaudah, saya beneran berangkat ini. Kamu pulangnya hati-hati! Sampai ketemu besok, ya!”

Raina melambaikan tangan ketika Sekar akhirnya masuk ke dalam mobil lalu mobil mewah itu menghilang ditengah padatnya jalanan pada malam itu.

Raina merenggangkan otot-ototnya, saat jadwal sudah berakhir seperti ini, rasa lelah akibat seharian bekerja baru terasa menggerogoti tubuhnya. Sepertinya memang Raina harus segera pulang ke kostnya dan beristirahat.

Raina menggeliat pelan ketika merasakan beban di perutnya. Ia menyipit, mencoba membuka mata perlahan.

“Sayang, kebangun?”

Raina sontak menoleh, ditengah kegelapan kamarnya, ia masih bisa mengenali wajah seseorang yang kini berbaring di belakangnya.

“Hestamma?”

Wajah itu mendekat, mencium pelipis Raina dan mengeratkan pelukannya yang sedari tadi melingkari perut Raina, “Iya, ini aku.”

“Kamu kapan dateng?” Tanya Raina pelan, kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya.

Terdengar suara gumaman sebelum pertanyaan Raina terjawab, “Mungkin setengah jam yang lalu? Aku masih bawa kunci kamarmu yang kamu kasih ke aku waktu itu, pas aku masuk kamu udah bobok pules.”

Raina tersenyum, “Iya, aku capek banget hari ini. Habis mandi aku langsung ketiduran.”

Ibu jari Hestamma mengusap perut Raina perlahan, berusaha menyalurkan kenyamanan pada sang kekasih. “You did a lot of work today. Bangga banget. Makasih, ya, sayang, udah bantu mami seharian ini.”

Ini bukan kali pertama Raina mendapatkan pujian seperti ini dari Hestamma, he’s good at words, Raina tau itu. Tetapi tidak peduli seberapa sering Raina mendengarnya, ia tetap merasa tersanjung, ia merasa dihargai, dan Hestamma membuatnya merasa sangat disayangi.

Raina berbalik sepenuhnya, kini berhadapan langsung dengan Hestamma yang tersenyum menatapnya. “Thank you.. Kamu juga udah kerja keras hari ini. Capek, sayang?”

“Hm, capek. Seminggu ini banyak banget yang harus aku urus. Aku harus bolak-balik survei ke lapangan, rapat keluar, terus balik lagi ke kantor.”

Raina diam, tangannya terulur untuk merapikan helaian rambut Hestamma yang mulai memanjang. “Aku bisa bantu apa buat meringankan capeknya kamu?”

“Apa aja. Aku kesini karena butuh liat kamu. Harusnya aku makin capek, ya, harus dateng jauh kesini? Tapi anehnya pas dateng terus liat kamu udah tidur sambil selimutan aku malah jadi senyum sendiri, capekku langsung hilang nggak tahu kemana.”

Raina tertawa pelan, wajahnya maju guna mencium rahang Hestamma beberapa kali.

Hestamma dengan sigap memeluk pinggang Raina ketika sang wanita bangkit dan kini berada di atasnya.

“Mau apa?” Tanya Hestamma dengan seringai jahil.

“Kamu maunya aku ngapain?” Raina bertanya balik, tangannya mengusap dada Hestamma naik turun, posisinya kini ia duduk di atas perut sang lelaki.

Hestamma memejam, berusaha menahan hasrat yang tiba-tiba datang. Ia benar-benar hanya ingin melihat kekasihnya, sudah seminggu sejak terakhir kali mereka bertemu. Ia tahu dirinya dan Raina sama-sama lelah, tapi jika sudah seperti ini.. Siapa yang sanggup menolak?

“Sayang, jangan,” Hestamma berusaha menangkap tangan Raina yang kini mengusap bibir Hestamma seduktif.

“Hm, kenapa?” Tanya Raina polos. Suara Raina yang serak, rambutnya yang berantakan, tatapan naifnya, dan jangan lupakan posisi Raina yang kini duduk di atas perut Hestamma, dengan tank top hitam yang mencetak bentuk tubuhnya. Hanya Tuhan yang tahu seberapa kuat Hestamma menahan nafsunya saat ini.

“Aku beneran pengen lihat kamu aja, aku kangen. Kamu pasti capek banget hari ini. Kamu tahu 'kan, aku nggak bisa berhenti kalau udah mulai?” Jawab Hestamma, berusaha memberi pengertian tanpa membuat sang kekasih merasa tidak diinginkan.

Kewarasan Hestamma seperti direnggut ketika Raina menunduk dan memasukkan jari telunjuknya ke mulut Hestamma, “Then don’t stop.. We still have all night long.

Lalu ketika Raina membuka pakaiannya hingga menyisakan tubuh bagian atasnya yang tidak tertutupi dalaman, Hestamma menyerah, wanita ini.. Memang ujian terbesar baginya.

Hestamma mendongak, bergerak makin cepat seiring rintihan Raina yang makin kuat. Kewarasannya seperti dibabat habis ketika melihat sang kekasih terbaring pasrah dibawah kendalinya, polos tanpa busana, berpeluh keringat, dan merintih menyebut namanya.

Menyadari dirinya menjadi alasan Raina Larasati memohon dengan frustrasi, seakan hanya dirinyalah yang mampu memuaskan wanita itu, ego Hestamma membara. Memang seharusnya begitu, wanita ini memang miliknya. Hanya ia—Hestamma Atmadja—yang mampu menyentuhnya, membuatnya merintih, membuatnya memohon, dan memuaskannya.

Maka dengan itu ia bergerak lebih cepat, badannya merendah demi dapat mengecup bibir sang wanita yang kini terbuka, merintih tertahan.

“Sakit, sayang?” Hestamma berbisik.

Raina menggeleng, “It feels good.” Jawabnya sambil tersenyum, mengusap poni Hestamma yang basah oleh keringat.

Raina benar-benar tahu bagaimana memberi makan ego lelaki, Hestamma mengerang akibat perlakuan Raina berusan, nafasnya makin berat tak beraturan.

Ketika pelepasan itu hampir sampai, Hestamma menunduk, menautkan jarinya dengan sang kekasih, mengecup pelipisnya berkali-kali dan mengucapkan kata cinta.

Raina menjeritkan nama Hestamma, ia sampai lebih dulu dan disusul Hestamma tak lama setelahnya.

“You’re amazing, Thank you.” Hestamma mengecup bibir Raina sekali lagi.

Raina hanya tersenyum, matanya masih memejam, tenaganya seperti disedot habis.

Kesadaran Raina makin menipis ketika ia mendengar langkah Hestamma menjauh memasuki kamar mandi.

Raina mengerjap perlahan, matanya menyipit merasakan cahaya terang memasuki kamarnya yang semalam ia buat gelap.

Ia menggeliat ke samping dan seketika merintih pelan ketika merasa tidak nyaman pada bagian bawahnya.

“Hei, sayang, kenapa?”

Hestamma datang dari balik pintu, menenteng plastik hitam yang Raina tebak berisi bubur ayam langganannya.

“Ehm, enggak, agak nggak nyaman aja,” Jawab Raina sembari mencoba bangkit.

Ingatan tentang semalam kembali, ah pantas saja Hestamma disini. Rasa tidak nyaman pada bagian bawah tubuh Raina, seprainya yang berantakan, dan dirinya yang sudah kembali berpakaian lengkap dibalik selimut. Semuanya jelas sekarang. Ini semua ulah Hestamma dan… dirinya.

“Ada yang sakit?” Tanya Hestamma, tangannya mengusap pelipis Raina lembut. “Aku keterlaluan, ya, semalem?”

Pipi Raina merona, tangannya mengibas, “Nggak.. Nggak apa-apa kok.”

Menyadari kekasihnya malu, Hestamma terkekeh pelan, ia beranjak menjauh mengambil sarapan bubur yang barusan ia beli di depan kost Raina.

“Sarapan dulu, aku beli bubur ayam langganan kamu,” Hestamma menyiapkan bubur lengkap dengan peralatan makan.

Raina mengangguk, ia memutuskan sarapan di tempat tidur, tak bisa dipungkiri tubuhnya lelah luar biasa. Seharian bekerja mengurus artis papan atas yang super sibuk, lalu setelah pulang masih “mengurus" anak sang artis yang tiba-tiba datang ke kostnya.

Raina tersedak oleh pemikirannya sendiri. Hestamma yang sedari tadi memandangi Raina makan, dengan sigap mengambil gelas berisi air putih dan menyodorkannya. “Pelan-pelan, Rein.”

“Mikir apa 'sih?” Tanya Hestamma heran.

Raina menggeleng dan meringis canggung, “Kamu nggak kerja?”

“Kerja, nanti. Kita berangkat bareng aja.”

Raina sontak melotot, “Gila, ya? Nggak, nggak. Berangkat sendiri-sendiri aja!”

“Lah, kenapa? Kita searah, nanti kamu aku turunin di lobi.”

Raina menghela napas, ditaruhnya bubur ayam ke meja nakas, “Aku mungkin terlalu berlebihan, tapi aku serius waktu aku bilang nggak pengen ngelakuin hal apapun yang bisa bikin orang curiga.”

“Aku cuma mau nganter kamu, Rein. Sampe lobi aja,” Jelas Hestamma, “Dan lagian, mobilku baru, nggak bakal ada yang tahu kamu berangkat bareng aku.” Tambahnya.

Still…

Hestamma mendekat, meraih kedua tangan Raina untuk digenggam, “Listen. Aku nggak mau merusak pagi kita, tapi aku beneran mau tanya sekali lagi sama kamu. Apa yang bikin kamu takut, Rein? Please, tell me.. Aku juga pengen tahu apa yang selama ini kamu rasain. Aku nggak pernah tahu apa jawaban kamu selama ini, kenapa kamu setakut itu kalau ketahuan pacaran sama aku?”

Raina diam, pandangannya menunduk tak berani menatap netra sang kekasih.

“Sayang, hei?” Tangan Hestamma mengangkat dagu Raina, diusapnya pelan pipi sang wanita, berusaha memberi ketenangan.

“Hubungan kita ini nggak salah. Kita cuma jatuh cinta. Aku dan kamu sama-sama nggak terikat hubungan dengan orang lain waktu kita setuju buat jalin komitmen,” Ibu jari Hestamma nggak berhenti mengusap pipi Raina, “Kasih tau aku, apa yang bikin kamu takut. Aku pengen bantu kamu, aku pengen tahu apa yang kamu rasain, Rein.”

Satu tetes air mata jatuh ke pipi Raina, ia mengerjap, berusaha menghalau air mata lain untuk jatuh yang nyatanya sia-sia.

Hati Hestamma sakit melihat Raina menangis, ia paham jika kekasihnya punya ketakutan yang dipendam. Tapi Hestamma tidak pernah tahu seperti apa detailnya, karena Raina selalu menjauh, ia selalu enggan ketika Hestamma mencoba membahasnya.

Tepat ketika Hestamma ingin berbicara, Raina berkata, “Aku cuma mencoba tahu diri.”

Hestamma mengerut bingung, “Tahu diri?”

Raina mendongak, mencoba menatap Hestamma dengan sisa-sisa harga dirinya yang jatuh berserakan, “Menurutmu apa Pak Atmadja dan Bu Sekar bakal seneng kalau lihat anak buangan yang mereka biayai sekolah dan kehidupannya, sekarang berani pacaran sama anak semata wayang mereka?” Raina bertanya dengan nada getir.

Hestamma hilang kata, benar-benar tidak menyangka bahwa itulah alasan Raina selalu ingin menyembunyikan hubungan mereka, yang sudah terjalin dua tahun lamanya. Selalu menolak ajakan Hestamma untuk sekadar jalan-jalan berdua, tidak pernah mau dijemput atau diantar bekerja. Bahkan, mereka berdua harus pergi keluar kota jika ingin menghabiskan waktu berdua, selain di kost Raina.

“Sayang, ya Tuhan.. Kenapa kamu mikir kayak gitu? Papi dan Mami nggak bakal keberatan kalau tahu kita pacaran, aku bisa jamin itu.” Hestamma mendekat, mencoba meraih tangan Raina.

Tapi Raina justru menjauh.

“Aku nggak punya siapapun di dunia ini. Aku nggak punya keluarga dan teman. Aku cuma punya kamu dan orang tuamu yang udah berbaik hati ngurus aku. Aku bisa makan, aku bisa sekolah, kuliah, dan bahkan dapet kerja sekarang, semua itu berkat keluarga kamu, Hes. I can’t ask for more.

“Aku nggak bisa kalau harus kehilangan kamu dan orang tuamu kalau misal kita nekat buat pacaran terang-terangan. Aku nggak punya siapapun, Hes.. Aku harus sama siapa kalau kamu pergi?” Tangis Raina pecah seketika.

Hestamma merangsek maju, mendekap sang wanita ke pelukannya.

“Aku nggak bakal pergi, aku nggak akan ninggalin kamu, Rein. I really mean it.

Pagi itu, akhirnya Hestamma mengalah, lagi.

Melihat Raina menangis sudah cukup membuatnya bungkam, ia tak sanggup untuk sekadar membahasnya lagi.

Kalau memang ini yang Raina mau, Hestamma harus cukup puas menjalin hubungan dengan Raina secara diam-diam, tanpa seorangpun yang tahu. Entah sampai kapan.

Pagi itu, setelah perbincangan mereka, Raina dan Hestamma berpisah di depan gedung kost Raina.

Ketika pagar tertutup, tangan Raina yang digenggam erat oleh Hestamma ditarik pelan oleh sang wanita, Hestamma menatap Raina tak rela, tapi ia hanya diam, melayangkan tatapan protes yang tak digubris oleh Raina.

Please, seengaknya biarin aku anter kamu sampe halte depan, Rein,” Bujuk Hestamma.

Raina tersenyum, langkahnya mundur menjauhi Hestamma.

“Oh iya, Ibu bilang pengen dinner bareng Mas dan Bapak, mungkin bisa disempatkan, Mas. Kasian Ibu, kayaknya kangen sama Mas Tamma,” Raina mengubah ucapannya menjadi formal, secepat itu.

“Sayang..”

“Mari, Mas. Saya duluan,” Pamit Raina, langkahnya menjauh, meninggalkan Hestamma yang masih bergeming menatap punggung Raina.

Hestamma tahu, perjalanannya masih jauh untuk dapat memenangkan hati Raina. Membuat wanita itu menjadi miliknya seutuhnya.

Hestamma ingin menggenggam tangan Raina, memeluknya, mengucapkan kata cinta. Bukan hanya ketika mereka berdua, Hestamma ingin menunjukkannya pada dunia.

Dia bisa melewati ini dua tahun lamanya, harusnya, menunggu beberapa tahun lagi tidak akan sulit 'kan?

Hestamma mengusap wajahnya, cinta itu, memang seperti ini, ya?

— tergeoni.

--

--